Popular posts

Total Tayangan Halaman

Blog by Jawaris Surento. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Unknown On Sabtu, 23 Februari 2013


PROSES BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU MENUJU REFORMASI

Keberhasilan pemerintaha Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan itu antara lain tingkat GNP (Gross National Product) pada tahun 1977 mencapai US$1200 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dan inflasi di bawah 3%. Ditambah lagi dengan meningkatnya sarana dan prasaran fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru ternyata kurang diimbangi dengan pembangunan mental (character building). Akibatnya terjadi krisis multidimensi  yaitu:
1.     Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa.
Keadaan seperti ni mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya terhadap institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidakpercayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa yang didukung oleh para dosen serta para rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshulffe cabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan Reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket indang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya:
·        UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
·        UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR.
·        UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
·        UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.
·        UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Namun, setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997, situasi politik dalam negeri Indonesia mulai memanas. Pemerintah Orde Baru yang didukung oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha untuk memenangkan secara mutlak seperti pada pemilu sebelumnya. Sementara itu, tekanan-tekana terhadap pemerintah Orde Baru di masyarakat semakin berkembang baik dari kalangan politisi, cendikiawan, maupun kalangan kampus.
Keberadaan partai-partai politik yang ada di legislatif seperti Parta Persatuan Pambangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianngap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Krisis politik sebagai factor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, menyebabkan munculnya tuntutan masyarakat yang menghendaki reformasi baik dalam kehidupan masyarakt, maupun pemerintahan di Indonesia. Masyarakat juga menginginkan agar dilaksanakan demokratisasi dalam kehidupan social, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masyarakat juga menginginkan aturan hukum ditegakkan dengan sebenar-benarnya serta dihormatinya hak-hak asasi manusia.
Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah terhadap oposisi sangat besar, terutama terlihat dari perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.
2.     Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pamerintah (ekskutif). Namun, pada kenyataanya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Seringkali terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat atau para pejabat Negara.
Sejak gerakan reformasi muncul, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum harus secepatnya dilakukan karena merupakan tuntunan agar siap menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
3.     Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan likuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997.
Dalam perkembangan berikutnya, nilai rupiah melemah dan menembus angka Rp 10000,- per dollar AS. Kondisi ini semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri yang memanfaatkan keuntungan sesaat, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bartambah buruk.
Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi lainnya. Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan, banyak perusahann yang mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah.
Kondisi perekonomian semakin memburuk karena pada akhir pada tahun 1997 persediaan sembilan bahan pokok (sembako) di pasaran mulai menipis. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat, seperti di irian Barat, Nusa Tenggara Timur, dan termasuk di beberapa daerah di Pulau jawa.
Factor lain yang menyebabkan krisi ekonomi Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
4.     Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Berbagai aksi damai dilakukan para mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggl 4 Mei 1998. puncak aksi para mahasiswa it terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafihin Royan. Tidak sedikit para demonstran yang mengalami luka ringan hingga luka parah akibat bentrokan dengan aparat yang berusaha membubarkan demostrasi mahasiswa tersebut.
Tragedi Trisakti mendorong munculnya solidaritas kalangan kampus dan masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat. Tragedi Trisakti juga menyulut aksi kerusuhan dan penjarahan tanggal 13 &14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, juga terjadi kerusuhan di beberapa wilayah lain di Indonesia. Ketika terjadi aksi anarkis tersebut, ribuan tempat tinggal pertokoan, kantor, dan kendaraan-kendaan terutama milik keturunn China dibakar. Bahkan banyak mayat-mayat yang telah terbakar ditemukan di pusat-pusat pertokoan. Keadaan seperti ini juga menyebabkan kehidupan masyarakat perkotaan diliputi oleh suasana kecemasan, rasa takut, dan tidak tentram.
Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto kembali ke Indonesia setelah dua hari berada di Mesir untuk menghadri KTT G-15. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban atas peristiwa Mei kelabu kepada Presiden Soeharto. Dan desakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan baik dari kalangan mahasiswa, pihak oposisi, bahkan dari orang-orang terdekatnya.
Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR/MPR untuk melakukan dialog dengan para pemimpin DPR/MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas. Mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya. Kehadiran para mahasiswa di Gedung MPR/DPR itu mengundang lebih banyak lagi para mahasiswa untuk datang ke gedung tersebut. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demonstrasi agar Presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Malam harinya, pimpinan ABRI menganggap bahwa himbauan itu merupakan pendapat individu pimpinan DPR/MPR yang disampaikan secara kolektif. Ketidakjelasan sikap elite politik nasional telah mengundang semakin banyaknya jumlah mahasiswa dan massa lainnya untuk datng ke Gedung DPR/MPR.
Kondisi dan situasi politik nasional yang panas telah mengakibatkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat semakin lemah dikarenakan perekonomian terhenti akibat adanya jaminan keamanan. Pada tanggal 19 Mei 1998 nilai tukar rupiah menembus angka Rp15000,- per dollar AS. Untuk menyikapi hal ini, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan pemilihan umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan, karena sebagian besar mereka yang duduk dalam Dewan Reformasi itu menolak masuk ke dalam dewan tersebut. Begitu pula seorang menteri Kabinet Pembangunan VII menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri / berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkanah Agung, sebagai Presiden RRepublik Indonesia yang baru di Istana Negara.
1.     A.   Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia tahu 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, social, ekonomi, dn hukum.
Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu, harga kebutuhan pokok rakyat sempat melejit tinggi, bahkan warga masyarakat harus antri untuk membelinya.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai berikut.
·        Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
·        Amandemen UUD 1945.
·        Penghapusan Dwifungsi ABRI.
·        Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
·        Supremasi hukum.
·        Pemerintahan yang bersih dari KKN.

         B.Berkuasanya Pemerintahan Reformasi
            Mundurnya Suharto kemudian segera digantikan oleh B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil Presiden namun, naiknya B.J.Habibie kekursi presiden RI tidak secara bulat dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat.
 Dalam kurun waktu satu tahun, pemerintahan B.J.Habibie telah mengadakan pembaharuan politik maupun ekonomi. Upaya-upaya pembaharuan tersebut, antara lain, Kebeasan pers, pelepasan narapidana politik, kebebasan mendirikan partai politik, penyelenggaraan siding istimewa MPR November 1998, pelaksanan pemilu 7 juni 1999, program rekafitulasi perbankan pemisihan kepolisian dan TNI, dan memberikan otonomi yang luas bagi propinsi timor timur.
Untuk melegakan jalan menuju reformasi politik serta menyelesaikan sejumlah persoaalan yang menyangkut hak asasi manusia dan supremasi hukum, maka pada 10-14 november 1998 dilaksanakan sidang istimewa MPR.
Pada 7 juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum anggota DPR yang diikuti 48  partai. Namun, hasil pemilu tersebut tetap belum bias mengakhiri peran TNI/Polri  dalam politik formal legislatif karena, fraksi TNI/Poli sudah mendapat jatah 38 kursi DPR.
Dari hasil pemilu anggota DPR itu disusunlah keanggotaan MPR yang berjumlah 700 orang dengan komposisi 500 anggota berasal dari DPR dan 200 orang anggota berasal dari seleksi utusan daerah dan utusan golongan. Penyusunan anggota MPR ini menghasilkan 11 fraksi. Amien Rais  ketua MPR, sedangkan Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua DPR.
Pada 19 Oktober 1999, dilaksanakan Sidang Umum MPR untuk mengambil keputusan melalui pemungutan suara terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang telah disampaikan pada 16 Oktober 1999. Hasil dari SU MPR tersebut menunjukkan 355 suara menolak, 322 suara menerima, 9 suara abstain, dan 4 suara tidak sah. Salah satu faktor penting yang mengakibatkan ditolaknya pidato pertanggungjawaban tersebut, yaitu indicator yang digunakan dalam pidato tersebut dinilai tersebut dinilai kalangan pegamat ekonomi tidak akurat dan cenderung manipulatif.
SU MPR diakhiri dengan melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan menggantikan pemerintahan B.J. Habibie. Dalam pemilihan tersebut, MPR menyeleksi tiga kandidat presiden, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun, sebelum pemungutan suara dilakukan, Yusril menyatakan  mundur dari pencalonan. Hasilnya, Gusdur keluar sebagai pemenang dengan meraih 373 suara dan megawati merebut 313 suara. Lima suara lainnya abstain. Adapun megawati menjadi wakil presiden RI setelah sebelumnya mengumpulkan 396 suara dalam pemumutan suara mengalahkan Hamzah haz yang hanya memperoleh 284 suara. Jendral Wiranto dan Akbar tanjung mengundurkan diri dari pencalonan wakil presiden. Pelantikan Abdurahman wahid dilaksanakan pada 20 oktober 1999, sedangkan pelantikan megawati dilaksnakan pada 21 oktober 1999. Selain telah berhasil mengangkat presiden dan wakil presiden yang baru, SU MPR yang berlangsung dari 1-21 oktober 1999, juga telah berhasil menetapkan 9 ketetapan MPR dan mengamdemen UUD 1945 untuk pertamakalinya.
Kabinet presiden Abdurahman wahid diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Komposisi cabinet ini merupakan gabungan dari para tokoh propesiional dan para tokoh partai pendukung pemerintahan koalisi. Pembentukan cabinet baru tersebut disambut baik oleh masyarakat. Besarnya dukungan terhadap cabinet baru ini salah satunya bisa dilihat dari menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp. 7000,00.
Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Abdurahman wahid juga dihadapkan pada berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang muncul adalah terjadinya pertentangan dengan lembaga legislative. Dalam hal ini DPR mengeluarkan memorandum 1 dan memorandum II kepada presiden yang berkenaan dengan masalah bruneigate dan buloggate 1. Inti kedua memorandum tersebut iyalah peringatan agar presiden mengubah kinerja pemerintahannya dan kembali terfokus pada program kerja pemerintahannya sesuai amanat GBHN. Puncak pertentangan tersebut adalah pengagendaan sidang istimewa MPR pada 1-7 agustus 2001 yang akan meminta pertanggung jawaban presiden atas kinerja pemerintahannya.
Rencana SI MPR tersebut mengundang tanggapan yang pro dan kontra. Kalangan yang pro menganggap SI MPR perlu diadakan sebagai sarana pertanggung jawaban presiden terhadap kinerja pemerintahannya selama ini. Adapun kalangan yang kontra menganggap SI MPR illegal dan tidak konstitusional sementara itu, untuk menyalesaikan masalah dengan lembaga legislative, presiden Abdurahman wahid melakukan upaya komfromi politik dengan menyelenggarakan pertemuan antar pimpinan partai politik pada 7 juli 2001. Namun, pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada saat yang genting tersebut, pada 20 juli 2001 pukul 17.45, presiden Abdurahman wahid mengangkat komisaris Jendral (Pol) Chaerudin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri. Selanjutnya presiden mengadakan konfrensi pers pada pukul 18.00. ia menyatakan bahwa apabila sampai 31 juli 2001 tidak ada penyelesaian masalah ia akan menetapkan Negara dalam keadaan darurat konstitusi. Konfromi politik yang dimaksud ialah MPR sepakat tidak akan mengeluarkan rancangan ketetapan MPR tentang pertanggung jawaban presiden dalam SI MPR.
Tindakan ini mengundang reaksi dari MPR yang menganggap pengangkatan tersebut melanggar haluan Negara dan membahayakan keselamatan Negara. Presiden dinilai telah menciptakan dualisme kepemimpinan ditubuh polri. Malalm itu juga, pukul 21.10, MPR mengadakan rapat pimpinan. Rapat tersebut memutuskan mempercepat SI MPR menjadi 21 juli 2001 pukul 10.00 dan mengundang presiden untuk memberikan pertanggunga jawabannya pada 23 juli 2001.
Menanggapi tindakan tersebut, presiden menjawab dengan menegaskan bahwa ia tidak akan datang dalm SI MPR yang dipercepat karena sidang itu melanggar tatatertib MPR sehingga tidak sah dan illegal. Presiden juga menegaskan dirinya tidak akan mengundurkan diri dari jabatannya karena ia harus mempertaruhkan UUD 1945. Meskipun demikian, presiden tetap mengharapkan terjadinya komfromi politik secara damai.
Sementara itu, sejumlah pimpinan partai poliitik datang kekediaman wakil presiden pada 22 juli 2001. Pertemuan tersebut merupakan upaya memberikan dorongan moril  kepada Megawati Sukarno Putri, untuk maju ke tampuk kepeminpinan nasional. Perkembangan tersebut mendorong presiden Abdurahman wahid mengeluarkan dekrit pada 23 juli 2001 pukul 01.10 malam. Pada 23 juli 2001, pukul 08.00, SI MPR memutuskan bahwa dekrit yang dikeluarkan presiden telah melanggar haluan Negara. Hal ini diperkuat oleh fatwa dari Mahkamah agung yang dibacakan langsung pada sidang tersebut.
Melalui persidangan yang rumit akaibat berbagai interupsi tentang teknik perumusan masalah, delapan dari sepuluh fraksi MPR yang beranggotakan 599 orang akhirnya setuju dengan pemberhentian Abdurahman Wahid dari kursi Presiden dan mengangkat Megawati Sukarno Putri sebagai presiden. Pengangkatan tersebut didasarkan pada Tap MPR No. III/MPR/2001. Masa jabatannya terhitung dari mulai diucapkannya sumpah jabatan sampai dengan habis sisa jabatannya pada 2004. Pada, 9 agustus 2001, presiden akhirnya mengumumkan komposisi kabinetnya yang di berinama Kabinet Gotong Royong. Adapun Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden setelah memperoleh suara terbanyak dalam pemungutan suara yang dilakukan dengan system voting secara tertutup pada tanggal 26 juli 2001.
1.     C.   Hubungan Masa Orde Baru dengan Masa Kini (Reformasi)
Pemerintah dan seluruh masyarakat harus mengambil pelajaran dari masa orde baru dan berusaha memperbaiki kesalahan,keburukan, dan kekurangan pada masa orde baru seperti, pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, ketidakadilan dalam hukum, dan ambruknya prekonomian.
1.     1.      Politik
Pada masa orde baru kebebasan berpendapat dikekang. Sedangkan pada masa reformasi, orang bebas mengemukakan pendapatnya dimuka umum baik dalam rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun, tentu saja harus sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pada masa orde baru pola pemerintahan bersifat sentralistis. Sedangkan pada masa reformasi pola pemerintahan menjadi disentralistis, hal ini menimbulkan kepuasan pemerintah daerah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Karena hal ini akan lebih adil dan akan mempercepat pemerataan dan pembangunan di daerah.
1.     2.      Hukum
Pada masa orde baru hukum seakan menjadi milik para penguasa, hukum dijalankan tidak adil dan carut marut tapi, pada masa reformasi hukum mulai ditata dengan baik dan tidak memihak. Pemerintah pun menunjukan keseriusannya dalam bidang hukum salah satunya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil dari pembentukan KPK ini sudah terlihat dengan banyaknya para koruptor yang ditangkap.
1.     3.      Ekonomi
Pemerintah pada masa reformasi berupaya memperbaiki kesejahteraan rakyat pasca krisis moneter pada masa akhir kekuasaan orde baru dengan menggarap lima sector kebijakan yaitu:
1.     Perluasan lapangan kerja secara terus-menerus melalui infestasi dalam dan luar negeri seefisien mungkin .
2.     Penyediaan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi permintaan pada harga yang terjangkau.
3.     Penyediaan fasilitas umum seperti rumah, air minum, listrik, bahan bakar, komunikasi, angkutan dengan harga yang terjangkau.
4.     Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku-buku untuk pendidikan umum dengan harga terjangkau.
5.     Peyediaan klinik, dokter dan obat-obatan untuk kesehatan umum dengan harga yang terjangkau pula.
Sejak jatuhnya Suharto dan naiknya Habibie menjadi presiden, terpilihnya presiden Abdurahman wahid dan Megawati sukarno putri yang naik menggantikan Gus Dur bertugas untuk meningkattkan kesejahteraan kehidupanm rakyat dengan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Namun, dengan kondisi perekonoomian Negara yang ditinggalkan oleh pemerintahan Suharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang presiden dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu, untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan RI, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas. Bahkan, dalam upaya penyelesaian krisis ekonomi setiap komponen bangsa memiliki peran dan tanggungjawab yang sama.



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments